Smart society, tanggungjawab siapa?

Smart society, tanggungjawab siapa?

 

Hampir semua kita sepakat bahwa dunia pendidikan kita saat ini berada dalam keterpurukan. Angka putus sekolah masih tinggi sementara angka partisispasi kasar (APK) belum cukup tinggi. Tingkat pengangguran, kemampuan angkatan kerja untuk bersaing secara global, dan masih banyak lagi persoalan yang berkait dengan pendidikan,  masih sangat memprihatinkan kita. Padahal pembukaan konstitusi kita secara eksplisit menyatakan salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa

Berbagai upaya telah dillaksanakan untuk keluar dari keterpurukan tersebut. Dari perspektif 3 M  (Man, Money, and Managerial), telah dan sedang dikerahkan investasi yang secara kuantitatif sangat besar.

Para praktisi pendidikan telah diberikan pencerahan demi pencerahan. Kualifikasi ditingkatkan, kompetensi dipacu, semangat juga terus digenjot. Berbagai penataran, workshop, sampai seminar telah digelar untuk meningkatkan kemapuan para pengelola pendidikan. Guru-guru diminta kembali ke perguruan tinggi untuk memperdalam atau meningkatkan kualifikasi akademis.

Nominal anggaran pendidikan juga sudah meningkat tajam, dibanding  beberapa tahun yang silam. Bahkan Undang-undang mewajibkan pemerintah menyediakan minimal 20% dari total anggaran negara harus diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan. Meskipun saat ini angka 20% tersebut belum terpenuhi namun harus diakui bahwa anggaran pendidikan memang telah signifikan meningkat dari tahun ke tahun.

Dari sisi manajemen, telah dilakukan pula pembenahan-pembenahan. Penataan kurikulum, akuntabilitas pengelolaan, transparansi, dan nsebagainya.

Masyarakat cerdas (smart society) yang menjadi dambaan kita semua, yang juga merupakaan tujuan dari negara kita, tampaknya belum juga mampu kita realisasikan.

Lantas kita tentu bertanya-tanya, dengan semua yang telah kita investasikan itu apa lagi yang kurang, dimana yang keliru? Untuk menjawab pertanyaan ini tampaknya kita harus melakukan analisis yang mendalam dan komprehensif.

Salah satu dari sekian banyak kelemahan itu adalah pemahaman terhadap peran individu dalam pencapaian tujuan negara tersebut. Secara empiris kita simak pemahamann sebagian besar orang bahwa tugas mencerdaskan bangsa itu terletak pada dunia persekolahan. Bahkan lebih ekstrim lagi skemata sebagian besar orang bahwa itu merupakan tugas guru-guru.

Ada cerita menarik dari seorang teman kepala sekolah : Ketika seorang siswa menurut catatan wali kelasnya sering tidak hadir sehingga prestasinya menurun. Sang kepala sekolah memutuskan untuk memanggil orang tua siswa tersebut. Dengan enteng orang tua siswa menanggapi “Ambo manyarahan anak ka sikola ko dek ndak pandai ma aja anak tu di rumah. ”(Saya menyerahkan anak ke sekolah karena saya tidak bisa mengajar dirumah). Inilah skemata kita.

Ketika tingkat kelulusan siswa di suatu sekolah anjlok, kita tidak pernah susah payah mencari penanggungjawab semua kegagalan itu (tingkat kelulusan yang rendah selama ini kita anggap sebagai kegagalan).Telunjuk kita dengan sangat yakin dapat kita arahkan kepada guru-guru dan kepala sekolah. Guru adalah sebagai biang keladi semua kegagalan itu. Dan yang memimpin guru-guru dalam kegagalan itu adalah seorang kepala sekolah.

Andai kita coba melongok agak ke dalam, mungkin kita akan terperanjat. Ternyata banyak unsur yang terkait dalam rangka memberikan resposibilitas terhadap kegagalan itu. Kepala sekolah bersama guru-gurunya, pengawas mata pelajaran, komite sekolah, orang tua siswa, masyarakat di lingkungan sekolah, birokrat yang mengelola pendidikan, sampai pada pemerintah secara keseluruhan.

Semua elemen tersebut seharusnya juga memikul tanggungjawab terhadap kegagalan itu. Tidak akan bisa hanya birokrat saja memikul tanggungjawab pencerdasan bangsa. Tidak juga cukup jika hanya sekolah yang berperan. Semua harus bertanggungjawab mewujudkan smart society.

Sampai saat ini birokrasi pendidikan telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Penyediaan suprastruktur, pemberian bantuan dalam bentuk subsidi, blokcgrant, dan sebagainya. Namun disana-sini masih terdapat kelemahan-kelemahan. Misalnya, pembangunan gedung sekolah tidak sampai pada bantuan purnabangun. Biaya pemeliharaan ada namun sangat jauh dari cukup. Penyediaan tenaga kependidikan juga masih terkendala, jaminan keamanan bekerja bagi tenaga kependidikan juga masih dalam tataran janji.

Masyarakat sebagai stockhaolders sekaligus stakeholders juga belum memiliki pemahaman terhadap pentingnya peran mereka dalam proses pencapaian masyarakat cerdas tersebut. Sering ditemukan anak-anak yang bahkan masih berpakaian seragam merokok di jalanan, dan tak seorangpun yang berani untuk melarang, kecuali di guru di sekolah dan orang tuanya di rumah. Hampir tidak ada yang akan menegur anak-anak usia sekolah yang berkeliaran pada malam hari sampai jauh malam. Tidak ada yang peduli.

Orang tua dengan kondisi perekonomian seperti saat ini kelihatannya kekurangan waktu untuk mencari nafkah. Akibatnya perhatian terhadap pendidikan anak-anak menjadi tidak lengkap. Kontrol terhadap disiplin belajar anak menjadi longgar. Hal ini diperparah lagi dengan sikap permisif yang makin tinggi.

Pengawas sekolah juga harus bertanggungjawab terhadap pencapaian smart society . Jika ditemukan hasil belajar suatu mata pelajaran yang rendah pada suatu sekolah, maka harus dipertanyakan pembinaan mata pelajaran tersebut oleh pengawas yang membidangi mata pelajaran itu.

Guru-guru dan kepala sekolah mesti terus menerus malakukan upaya perbaikan kualitas mengajar. Harus ada perubahan ke arah yang lebih baik yang terjadi di dalam kelas. Saat ini masih banyak guru-guru yang masih berbangga dan berpuas diri dengan ilmu yang didapat dari bangku kuliah tempo dulu. Masih banyak guru kita yang tidak menyadari atau tidak peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi pendidikan, atau temuan-temuan baru. Jika ini terus menerus terjadi maka ilmu yang ditularkan kepada peserta didik akan tertinggal jauh. Untuk mempercepat pencapaian smart society dibutuhkan kemampuan dan kemauan yang lebih besar lagi. Ini merupakan tanggungjawab moral sebagai guru.

Alhasil, seperti yang penulis sampaikan di atas bahwa semua pihak bertanggungjwab menurut porsinya dalam mewujudkan masyarakat cerdas.

Sabagai bahan renungan berikut saya kutip dari http://pojokguru.com/gurulap15.html 

Nama: Ida Bagus Gede Drimawan S.Pd
Dari: Denpasar/Bali
Saya: Pengamat Indonesia
Topik: Guru Olah Raga
Saran: Saya Pencinta Pendidikan, Saya sebenarnya ingin sekali kembali mengajar akan tetapi dikarenakan pengahsilan sebagi Guru tidak seberapa jadi saya dengan sangat terpaksa memilih bekerja di Hotel.
Saya seorang Guru yang mempunyai talents luar biasa pernah mengajar di 2 sekolah International School.
Bandingkan coba Guru di Brunei yang kebanyakan orang UK bayarannya BN3500 = Rp 17 Juta sebulan belum lagi tunjangan yang lain. tapi kualitas dan cara mengajarnya jauh sekali apa lagi kalau mengajar Olah Raga….duch Gusti..kadang2 nyesel juga jadi orang pintar di Indonesia…kapan ya Orang bisa menghargai perkerjaan kita??
Anyway kawan2 Guru jangan putus asa tetap semangat ingat belajar bahasa Inggris sangat membantu karir anda.
Dan wahai pegawai negri jangan pernah berpuas hati karena inflasi di Indonesia semakin tinggi.
Wahai Guru Olah Raga di Indonesia berikanalah contoh yang sehat..jangan merokok di depan Murid apalagi ngajar Olah raga tunjukan kalau guru sehat murid sehat juga.
Jangan biarkan orang bilang Guru Olah Raga paling santai datng jam 6 pagi pulang jam 9 pagi…tanggal 1 teken gaji..nice life.
E-mail Pengirim: ib_2good@yahoo.com
Tanggal: 07/09 /2006

 

Kutipan berikut dari http://korupsi.org/pendidikan.html

Name: Pak Anon.
Saya: Pegawai Negeri di Pendidikan, Jawa
E-Mail C/-: editor@korupsi.org
Type of Input: Pendidkan

Comments:
The late Harvard’s President, Derek Curtis Bok, used to say “if you think education is expensive, try ignorance.” What he meant I think is that stupid actions out of uneducated persons will eventually produce bad results that are much more expensive than the money we’re supposed to put into education.

Lenin as quoted by Soekarno said that we had to be efficient in everything, but education.

The government of this country, That includes myself, has gone too far away from its basic function to serve its people, and now we have to bear upon the burden of crisis out of the very act of this stupidity. I am sad to say that most of us are not really corcerned about the needy. The Government is useless most of the time, but during the election.

I still believe that we have to have a good nondiscriminative public education that can be provided to all the people “education for all.” We can do it if we really have willingness to better serve our people. I have a strong believ in it. We have plenty good examples in this country showing that determination will eventually make possible the seemingly impossible.

I am a chairperson of school commitee of a private junior high school ……… ; a small school serving the surrounding community, mostly pupils from economically unfortunate family. I enjoy working with the Principal who has a strong conviction that we can make a change if we’re really determined to. The school can be categorized as a nonexpensive learning environment. All the funds needed come voluntarily from the parents (they pay according to their economic condition). The school is running effectively supporting by dedicated ungreedy teachers and volunteers (parents voluntarily spare their time to serve learning process).

The principal believes in functional ability not just formal degree from university. The motto here is “those who can, teach.” He inspires the parents by showing his determintation to make the school much better. All the efforts are now being paid off; some parents grant the school with materials needed to improve the school condition. The school is now known as nonexpensive, nondiscriminative learning environment serving the people. The alumni are oke, some go to private and public school, even to SMA Nusantara. Not bad, isn’t it?

The moral is, if you determine to do good things for people, you inspire them to voluntarily follow your step. The core person in school management is the principal. He must have the qualty of a good manager with strong educational leadership that provides good example, inspiration, and empowerment to all involved in learning process. There are principals of this kind quality; they never ask to be honored. They don’t talk much but doing more.
Thank you
Date: 17 September 2004

Diterbitkan oleh Noviar Tan Mudo

Drs Noviar, M.M Male, Married, 2 daught's 1 boy I'm a teacher

Tinggalkan komentar