Hoooreeee. Lulus…..!

Fenomena corat coret baju seragam beserta varian lainnya adalah sesuatu. Sesuatu banget. Anak-anak SLTP kelas IX dan anak anak SLTA kelas XII, menunggu hari itu dengan dada gemuruh. Orangtua mananti penuh harap. Guru-guru juga.

Perjalanan selama tiga tahun yang penuh perjuangan akan berakhi di awali dengan munculnya tanda-tanda ķhusus. Tanda-tanda itu adalah munculnya USBN, kemudian datang pula UNBK/KP. Jika kedua tanda tersebut telah muncul, maka berarti hari penuh debaran itu sudah sangat dekat.

Ketika hari itu datang, hampir semua kita menjadi sakti mandraguna. Kita jadi pandai meramal. Dan ramalan kita ternyata sangat akurat. Kita meramalkan anak anak akan berpeata pora. Bersukacita. Mereka tentu akan tumpah ruah ke jalanan. Naik motor hilir mudik dengan sekaleng cat senprot di tangan.

Tingkah mereka membuat orang di sekeliling menjadi gerah. Satu sepeda motor dinaiki tiga bahkan empat orang. Jalanan menjadi macet. Suara bising kenalpot memekakan telinga. Baju bahkan rambut sudah penuh dengan semprotan cat.

Selanjutnya kita mulai mencari siapa biang kerok ini semua.

“Guru-guru nih, ga becus mendidik siswanya!”

“Kepala sekolahnya harus diberhentikan tuh..!”

“Pemerintah salah urus nih…!”

Itu antara lain umpatan kekesalan para penonton konvoi anak-anak sekolah tersebut.

Lantas siapa sebenarnya yang bertanggungjawab.?. Ini pertanyaan yang mudah namun sulit untk menjawabnya.

Sejatinya pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama. Orang tua, masyarakat dan sekolah sebagai representasi pemerintah dalam hal ini.

Dalam konteks fenomena corat coret ini, pemerintah melalui sekolah sudah melakukan berbagai upaya. Memberikan arahan dan bimbingan sikap dan perilaku kepada siswa. Melakukan rekayasa terhadap proses penyampaian hasil belajar, antara lain ; pengumuman kelulusan disampaikan sore agar mengurangi waktu anak anak untuk berhura hura. Atau ada sekolah yang menyampaikan hasil belajar itu melalui sura kepada orang tua. Ada pula sekolah yang mengumumkan hasil belajar itu melalui laman web sekolah. Bahkan ada yang menggunakan jasa layanan pesan singkat atau sms.

Namun aksi corat coret tidak juga kunjung hilang.

Itulah sebagian upaya sekolah mengatasi kejadian coret coret tersebut. Penulis belum punya kesempatan untuk menilik sejauh mana dua kelompok yang lain sebagai penanggungjawab pendidikan (masyarakat dan orangtua) telah melakukan upaya yang sejenis.

Apakah orangtua telah berusaha membatasi jam edar anak anaknya di luar rumah misalnya. Apakah masyarakat, aparat, wali nagari, pemuka masyarakat dan yang lainnya sudah menindak para penggangu ketentraman di lingkungannya. Mudah mudahan suatu ketika penulis memilik kesempatan untum meneliti aspek ini. Wallahualam…

Diterbitkan oleh Noviar Tan Mudo

Drs Noviar, M.M Male, Married, 2 daught's 1 boy I'm a teacher

Tinggalkan komentar